Alsintan untuk Petani, Bukan untuk Bisnis: Tegasnya Pemkab Nias Menjaga Amanah Bantuan

Penyerahan bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) oleh Pemerintah Kabupaten Nias kepada 46 kelompok tani di 10 kecamatan patut diapresiasi sebagai langkah konkret memperkuat produktivitas sekaligus mengurangi ketergantungan pangan dari luar daerah. Dalam situasi ketika biaya produksi tinggi, tenaga kerja pertanian makin terbatas, dan hasil panen dituntut semakin efisien, hadirnya traktor dan pompa air bukan sekadar bantuan barang melainkan investasi negara dan daerah untuk ketahanan pangan.

Namun, bantuan hanya akan bermakna jika tepat guna. Karena itu, pernyataan tegas Bupati Nias Yaatulo Gulo“Tak boleh disewakan, salah pakai kita tarik!” bukanlah ancaman berlebihan, melainkan peringatan penting agar program ini tidak dibajak oleh kepentingan segelintir orang. Pengalaman di banyak daerah menunjukkan, bantuan alsintan sering berubah fungsi: disewakan untuk keuntungan pribadi, dikuasai elite kelompok, atau bahkan mangkrak karena tidak ada pengelolaan. Di titik inilah ketegasan pemimpin diperlukan.

Ketahanan pangan tidak dibangun dengan seremoni, tetapi dengan disiplin penggunaan, pengawasan, dan tata kelola yang adil. Jika alsintan disewakan, maka yang terjadi adalah komersialisasi bantuan: petani kecil tetap membayar mahal, sementara yang menikmati keuntungan adalah pihak yang “menguasai” alat. Ini bertentangan dengan tujuan awal yang disampaikan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan, Ta’ondasi Mendrofa: meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani melalui dukungan APBN dan APBD.

Karena itu, instruksi bupati harus diikuti dengan sistem yang jelas. Pertama, setiap poktan penerima wajib memiliki aturan tertulis: jadwal penggunaan, operator yang ditunjuk, biaya operasional (BBM/perawatan) yang transparan, dan larangan keras menarik keuntungan pribadi. Kedua, pemerintah daerah perlu memastikan pendampingan teknis: alat yang canggih sekalipun tidak akan produktif jika tidak ada pelatihan operator, rencana perawatan, serta mekanisme perbaikan ketika rusak. Ketiga, pengawasan harus melibatkan banyak pihak camat, kepala desa, penyuluh, hingga DPRD seperti semangat dukungan Ketua DPRD Nias, Sabayuti Gulo, bahwa ketahanan pangan adalah tanggung jawab bersama.

Baca Juga:  Menjaga Kualitas Program Makanan Bergizi Gratis untuk Masa Depan yang Lebih Sehat

Ungkapan bupati, “Tidak ada gunanya teknologi canggih kalau perut lapar,” adalah pengingat bahwa prioritas pembangunan harus kembali pada kebutuhan dasar rakyat. Alsintan adalah sarana menuju swasembada pangan, bukan simbol proyek. Jika dikelola baik, ia bisa mempercepat olah lahan, menekan biaya, memperluas tanam, dan meningkatkan hasil. Tetapi jika disalahgunakan, ia hanya akan menjadi sumber konflik dan ketidakadilan baru di tingkat desa.

Akhirnya, ketegasan Pemkab Nias harus dibaca sebagai perlindungan atas hak petani dan uang publik. Bantuan ini amanah dan amanah hanya akan melahirkan kesejahteraan jika dijaga bersama: oleh pemerintah yang konsisten menindak, dan oleh kelompok tani yang jujur serta disiplin memanfaatkan alat sesuai peruntukannya. (Rendi)