Langkat – Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Wakil Ketua DPRD Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), Ajai Ismail, tengah menjadi perbincangan publik. Pasalnya, laporan kekayaannya yang tercatat dalam sistem LHKPN dinilai tidak wajar.
Dalam laporan periodik tahun 2023, Ajai Ismail melaporkan total kekayaan yang dimilikinya hanya sebesar Rp 20 juta. Informasi tersebut tertera dalam situs resmi LHKPN yang diakses pada Rabu (12/2/2025).
“Total harta kekayaan (II-III) Rp 20.000.000,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Yang menjadi perhatian adalah ketiadaan aset berupa tanah dan bangunan, kendaraan, harta bergerak lainnya, serta surat berharga dalam laporan kekayaan Ajai. Politisi Partai NasDem yang juga menjabat sebagai Ketua DPD NasDem Langkat ini hanya mencatatkan kas dan setara kas senilai Rp 20 juta.
Perbandingan dengan laporan harta kekayaan periode sebelumnya semakin menimbulkan tanda tanya. Pada tahun 2019, Ajai hanya melaporkan harta senilai Rp 6 juta dalam bentuk kas dan setara kas tanpa adanya utang.
Namun, situasi berbeda terjadi pada tahun 2020. LHKPN Ajai menunjukkan angka minus Rp 677.425.898, dengan rincian kas dan setara kas sebesar Rp 6 juta, sementara utang yang dilaporkan mencapai Rp 683,4 juta. Kondisi serupa berlanjut di tahun 2021, di mana harta kekayaan Ajai tercatat minus Rp 675.851.912, dengan kas Rp 6 juta dan utang Rp 681,8 juta.
Pada laporan tahun 2022, meskipun terjadi perbaikan, kekayaannya masih dalam kondisi minus Rp 389,6 juta. Ia tetap melaporkan hanya memiliki kas Rp 6 juta dengan utang sebesar Rp 383,6 juta.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Budi Santoso, menilai ada kejanggalan dalam laporan tersebut. Menurutnya, pejabat negara yang menjabat di posisi strategis seperti Wakil Ketua DPRD seharusnya memiliki transparansi yang lebih baik dalam pelaporan harta kekayaannya.
“Kondisi di mana harta kekayaan pejabat terus berubah drastis dari minus hingga kembali positif dalam kurun waktu singkat menimbulkan pertanyaan. Publik berhak mendapatkan penjelasan lebih lanjut terkait asal-usul dan validitas laporan tersebut,” ujar Dr. Budi kepada media, Rabu (12/2/2025).
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Sumut, Rudi Hartanto, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan verifikasi terhadap laporan tersebut.
“KPK seharusnya melakukan klarifikasi terhadap pejabat yang memiliki laporan kekayaan yang tidak wajar. Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian, maka perlu ada audit lebih lanjut,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, Ajai Ismail belum memberikan tanggapan resmi terkait polemik ini. Namun, masyarakat Langkat berharap ada transparansi dari para pejabat publik dalam hal pelaporan kekayaan guna memastikan tidak adanya indikasi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. (Salim)